Friday 10 October 2014

PENDIDIKAN YANG KURANG MENDIDIK


“Kehidupan yang tidak dipahami
karena tidak dipelajari
tidak bernilai untuk dilalui.”
(Winarmo Surakhmad, Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi)


Sudah sekian lama Indonesia mencanangkan pendidikan karakter sebagai sintesa strategi pendidikan yang dianggapnya “gagal” dalam merealisasikan fungsi dan tujuan pendidikan nasional: bangsa yang bermartabat, cerdas, dan bertakwa. Namun, pada kenyataannya strategi baru itu seakan hanya menjadi kamuflase strategi lama yang belum berhasil.
Kutipan di atas adalah tulisan seorang begawan pendidikan yang cukup terkenal, Prof. Dr. Winarmo Surakhmad. Beliau adalah seorang tokoh pendidikan yang konsekuen terhadap proses perkembangan dan perubahan kehidupan politik di tanah air. Dalam salah satu makalahnya, dia mengatakan:
 “Di tengah kehidupan yang serba berubah dan mengalir (“panta rei”) dipertanyakan apakah masih berguna manusia berbicara mengenai sejumlah hal—termasuk pendidikan—secara normatif?” Sebaliknya, kita tahu bahwa pendidikan itu sendiri, tempat banyak orang dapat berbicara banyak mengenai berbagai hal, tampaknya juga masih berbelit dalam memberikan porsi lebih pada nilai normatif tersebut. Imbasnya adalah degradasi moral yang semakin meningkat ketika kehidupan berubah dan mengalir menjadi dunia baru yang semakin global.
Kehidupan yang selalu berubah dan mengalir ini jika tidak diayomi oleh pribadi-pribadi yang bermoral, maka dapat diprediksikan akan berakibat pada kerusakan dan keguncangan sosial para penerima perubahanan itu sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkanlah pendidikan yang mampu mencetak kader-kader yang memiliki akhlak al-karimah dan moral akademik yang tinggi sebagai modal dalam menyongsong perubahan dan tantangan zaman di masa depan.
            Akan tetapi, untuk menciptakan pendidikan yang benar-benar “mendidik” itu memang tidaklah mudah. Ki Hajar Dewantara (1889—1959) yang memandang bahwa pendidikan adalah daya upaya yang dilakukan untuk memajukan budi pekerti (karakter dan kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani anak-anak yang selaras dengan alam dan masyarakat, tampaknya juga masih bertolak belakang dengan realitas kehidupan sekarang. Hal ini bisa kita lihat pada realitas lembaga-lembaga pendidikan: persekolahan dan perguruan tinggi. Kesenjangan antara doktrin normatif dan wilayah praksis terlihat tidak adanya hubungan yang saling berpengaruh. Keduanya terpisah bagaikan minyak dan air yang tak bisa disatukan.
Mulyasana (2012) juga menjelaskan bahwa pendidikan nasional kita lebih menekankan pada sistem pengajaran yang lebih dominan daripada proses pendidikan itu sendiri. Sistem yang seperti ini seakan telah keluar dari dalam jati diri pendidikan itu sendiri, sehingga pendidikan cenderung diidentikan dengan proses peningkatan kemampuan, keterampilan, dan kecerdasan belaka. Hal inilah yang menjadi kesenjangan antara nilai normatif yang diajarkan dengan realitas kehidupan sosial yang diamalkan.  
Problematika Sosial Peserta Didik
Permasalahan akibat terabaikannya pendidikan akhlak para peserta didik bisa kita lihat dari beberapa segi. Pertama, berdasarkan segi kepribadian. Sebenarnya, permasalahan kepribadian yang sejatinya adalah “aset” paling berharga bangsa ini adalah masalah kejujuran. Sudah menjadi keniscayaan bahwa semua elemen—termasuk lembaga pendidikan—pastinya akan menghargai dan menjunjung tinggi kejujuran. Barangsiapa berkhianat, niscaya akan ditolak dari lingkungannya. Oleh sebab itu, pendidikan harus menjadi tokoh utama dalam menanamkan dan menyebarkan sifat yang mulia ini.
            Namun, realitas masih juga bertolak belakang dengan harapan. Kasus ujian nasional sebagai penentu “sakral” keberhasilan seseorang dalam pembelajaran, sebenarnya juga belum relevan dengan konteks di lapangan. Seperti yang kita tahu bahwa ujian nasional seakan tidak pernah bersih dari berbagai macam kecurangan. Sering kita dengar pemberitaan di televisi yang memperlihatkan bagaimana “aksi” para siswa ketika ujian nasional berlangsung, seakan membuat kita sendiri tersinggung dan malu. Mungkin ini adalah kebiasaan hasil pembelajaran yang selalu mengabaikan sifat kejujuran mereka. Namun, apakah hal ini menunjukan pribadi jujur seorang siswa yang dikatakan terdidik?! Secara normatif, apakah ujian nasional yang hanya berisi soal-soal teoritis itu layak menjadi penentu keberhasilan? Jika iya, maka pemerintah telah sia-sia mengeluarkan anggaran beratus-ratus juta hanya untuk menyelenggarakan ujian nasional yang hanya bernilai, tetapi tidak memiliki makna dan fungsi apa-apa.
            Kedua, dari segi pergaulan. Lingkungan pendidikan telah mengajarkan kepada kita untuk bergaul sebagaimana mestinya: menurut aturan, nilai, dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Namun, kenyataannya tetap saja ada beberapa yang “kebablasan”. Sebagai contoh, akibat tidak terawasinya pergaulan di kalangan remaja, yaitu kasus anak sekolah yang dikeluarkan karena hamil luar nikah. Mungkin juga hal ini tidak akan terjadi apa bila mereka mendapat pendidikan nilai, norma, dan moral yang lebih daripada hanya sekedar belajar. Mengapa hal ini bisa terjadi? Di sisi lain, terdapat kenakalan-kenalan lain (baca: pergaulan bebas) yang memang patut untuk kita “obati” dengan kesadaran akhlak al-karimah.
            Penyelewengan lain yang sering kali meresahkan para guru dan orang tua biasanya adalah tindakan yang memang sudah melampaui dari batas kewajaran. Inilah yang sering kita sebut dengan pergaulan bebas: pacaran. Banyak orang yang menentang, tetapi tidak sedikit pula yang memperbolehkan.

Belajar dari Pesantren
Pesantren merupakan salah satu warisan sah bangsa Indonesia atas khazanah literatur keilmuan islam pada abad pertengahan. Ajarannya yang berdasar pada Islam rahmatan li al ‘alamin mampu mencetak kader-kader yang memang dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan masyarakat dan segala perubahan zaman yang menyelimutinya. Inilah keunikan yang patut untuk kita pahami dan jadikan solusi bersama atas permasalah akhlak dan moral akademik yang telah mengakar kuat dalam sistem pendidikan kita.
Secara mendasar konsep pendidikan pesantren dapat kita lihat dari tiga segi. Pertama, dari segi sosiologis. Salah satu lembaga pendidikan yang yang pernah penulis alami adalah pondok pesantren Nurul Hidayah Karangsari di kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Ketika hidup di pesantren, kita akan belajar bagaimana hidup yang sebenarnya. Dalam satu kamar ukuran tiga meter persegi tidaklah seperti kamar kos yang hanya dihuni oleh satu orang saja, namun di sini bisa diisi lima orang lebih. Bahkan, kalau kita lihat di pesantren yang memiliki 6000 santri atau lebih, dalam satu kamar empat meter persegi bisa mencapai 15 orang santri atau lebih.
            Akan tetapi, inilah kelebihan hidup di pesantren. Kita akan belajar bagaimana hidup bersama dengan orang lain yang berbeda daerah dan latar belakang. Mereka memang membawa perbedaan yang sejatinya tidak bisa untuk disatukan. Namun, dengan rasa sosial dan semangat ukhuwah,  kita tetap bisa hidup bersama dengan beriringan dan harmonis tanpa adanya perselisihan. Secara tidak langsung, kemampuan untuk memahami dan menghargai orang lain akan terbentuk dengan kedekatan dan interaksi sosial yang sering dilakukan.
            Kedua, dari segi paradigmatis. Kerangka berpikir pesantren mengajarkan kepada kita mengenai prinsip untuk belajar mengutamakan kepribadian akhlak, bukan kepintaran. Pada tahap awal, biasanya santri dibekali dengan tuntunan pembelajaran yang terintegrasikan dalam kitab ta’limul muta’allim karya syaikh Burhanudin Az-zarnuji. Dalam bab pertama beliau menjelaskan bahwa setiap muslim tidak diutamakan mencari ilmu, melainkan ilmu “chal”. Bisa dikatakan bahwa ilmu ini adalah cara berperilaku dan bertindak menempatkan diri secara benar, dimana tempat yang wajib, sunnah, makruh, dan haram.
            Orientasi pertama yang diberikan pesantren kepada santri ketika mencari ilmu adalah landasan filosofi yang benar. Maksudnya adalah hakikat dalam mencari ilmu merupakan mencari kebenaran. Kebenaran itu tidak bisa didapat sepenuhnya apabila dirinya (hati) belum benar: moral dan akhlak. Selain itu, untuk mendapatkan ilmu, seorang santri tidak bisa dengan cara yang hanya memanjakan badan. Ia harus bersusah payah dahulu—belajar keras—serta memperhatikan adab-adab dalam mencari ilmu, mulai dari persiapan, perjalanan menuju tempat belajar, dan ketika ta’lim itu berlangsung.
            Orientasi kedua yang ditanamkan adalah tujuan dalam mencari ilmu. Ilmu apa? Tentunya adalah ilmu yang akan selalu relevan dengan perkembangan zaman: dunia dan akhirat. Oleh karena itu, ilmu yang diperoleh tidak hanya sebagai pengetahuan, tetapi juga ilmu untuk hidup. Orientasi bukan diarahkan untuk mendapatkan pekerjaan dan gelar seperti kyai atau ustadz, melainkan hanya untuk memperoleh ilmu dan ridha Allah swt.
            Tujuan yang selanjutnya adalah mengharap keberkahan. Keberkahan disini maksudnya adalah kebaikan yang diperoleh dari seseorang karena ilmunya, akhlaknya, sifatnya, ibadahnya, dan bisa dikatakan sebagai teladan. Bahkan, ketika di pesantren, penulis pernah mendengar suatu kisah tentang seorang santri yang “bodoh”—tidak bisa membaca dan menghapal dengan baik setiap pelajaran yang baru saja diajarkan oleh gurunya, sehingga ia pun dipandang “remeh” oleh orang-orang sekitarnya. Akan tetapi, ia memiliki himmah atau prinsip untuk selalu mengharap keberkahan dari guru atau kyai-nya. Setiap kali gurunya masuk majelis, dia membalikkan sandal gurunya dengan maksud ketika gurunya keluar dapat dengan mudah langsung dipakai, tidak perlu membalikan badan. Begitulah ia lakukan terus menerus hingga waktu telah menjadi dewasa, tidak ada orang yang menduga bahwa ia telah menjadi seorang ulama’ besar. Walaupun banyak kisah yang hanya berwujud seperti “foklore“, tetapi hal ini menjadikan teladan bagi para santri yang hidup di pesantren.
            Ketiga, dari segi metode pembelajaran. Terdapat keunikan lain dalam metode pengajaran yang dilaksanakan di pesantren. Banyak orang yang menganggap metode ini adalah cara pengajaran tradisional, namun jika ditelusuri lebih dalam, maka akan kita temukan bahwa esensi dari metode ini sebenarnya adalah implikasi dari apa yang diajarkan dalam lembaga pendidikan modern.
            Ada beberapa cara pengajaran yang dilakukan dalam pengajaran di pesantren: bandongan, halaqah, hapalan, mudzakarah, muhawarah, dan sorogan. Salah satu metode khas pesantren—yang menurut banyak orang adalah cara tradisional—sebagai cara dalam proses pembelajaran adalah sorogan. Namun, jika dilihat dalam konteks pedagogis, cara ini adalah metode yang modern. Hal ini dikarenakan antara kyai dan santri akan saling mengenal secara erat, sehingga secara tidak langsung metode ini akan membentuk karakter bersosial para santri.
Dalam metode sorogan, murid atau santri harus membuat persiapan sebelum menghadap kepada guru. Begitu juga dengan guru harus menguasai benar materi yang diajarkan. Pemebelajaran dilakukan dengan tatap muka langsung—santri menyodorkan kita yang akan dikaji. Sedangkan guru berpihak sebagai penerjemah kitab dan menjelaskannya kepada santri. Dengan demikian, guru akan mengetahui materi yang cocok dan metode yang harus diajarkan khusus kepada muridnya tersebut. Biasanya, kitab yang disodorkan adalah kitab dalam bahasa arab tanpa syakal atau yang lebih kita kenal dengan “kitab gundul”.
Pendidikan yang Bermoral
Pendidikan di Indonesia belumlah sepenuhnya terlambat dalam membenahi segala kekurangannya. Dengan memberikan pendidikan moral seperti halnya konsep pesantren, diharapkan bisa memunculkan bibit-bibit anak bangsa yang lebih berkualitas dan memiliki moral akademik yang tinggi. Hal ini masih bisa dilakukan dengan cara mempertegas kembali bagaimana konsep dan metode dalam pendidikan karater yang sudah dicanangkan beberapa tahun lalu.
Indonesia baru setelah reformasi telah membuktikan kepada kita bahwa bangsa ini masih menyisakan segudang masalah penting khususnya tentang moral akademik yang menghambat terjadinya kemajuan. Fakta tersebut membuktikan kepada kita bahwa masa depan Indonesia harus kita songsong dengan pribadi yang bermoral. Karena tanpa akhlak dan moral yang baik, Indonesia yang kita sebut “baru” itu akan tetap menjadi Indonesia lama seperti yang sekarang ini.
            Berdasarkan pada pemaparan tersebut, dapat disimpulkan dengan pernyataan yang cukup terkenal di kalangan umat ini: “Moralitas berada di atas ilmu”. Pernyataan ini juga membuktikan dengan jelas kepada kita bahwa pendidikan nasional di Indonesia tidaklah selamanya harus memberikan porsi lebih pada pengajaran yang hanya mengutamakan keterampilan dan kecerdasan belaka. Namun, pendidikan juga harus mengutamakan pendidikan akhlak dan moral sebagai modal yang utama untuk meyongsong Indonesia baru di masa mendatang.

~Mohon maaf, masih belajar menulis

BAHAN BACAAN
Surakhmad, Winarmo.2009.Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. Kompas: Jakarta.
Mulyasana, Dedi.2012.Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Rosdakarya: Bandung.
Zarnuji, Burhanudi.ta’limul muta’allim. Maktabah ‘alamiyah: Semarang
Musthofa, Haroen dan Asmuki, dkk.2009.Khazanah Intelektual Pesantren. Maloho Jaya Press: Jakarta.
Harahap, Syahrin.2005.Penegakan Moral Akademik di Dalam dan Luar Kampus. Rajawali Pers: Jakarta.

1 comment:

  1. MT

    sedih sekali melihat anak2 jaman sekarang.
    nice artikel untuk mendidik anak. thanks a lot

    Training Auditor

    ReplyDelete