“Kehidupan yang tidak dipahami
karena tidak dipelajari
tidak bernilai untuk dilalui.”
(Winarmo Surakhmad, Pendidikan
Nasional: Strategi dan Tragedi)
Sudah sekian lama Indonesia mencanangkan
pendidikan karakter sebagai sintesa strategi pendidikan yang dianggapnya “gagal”
dalam merealisasikan fungsi dan tujuan pendidikan nasional: bangsa yang
bermartabat, cerdas, dan bertakwa. Namun, pada kenyataannya strategi baru itu
seakan hanya menjadi kamuflase strategi lama yang belum berhasil.
Kutipan di atas adalah
tulisan seorang begawan pendidikan yang cukup terkenal, Prof. Dr. Winarmo
Surakhmad. Beliau adalah seorang tokoh pendidikan yang konsekuen terhadap
proses perkembangan dan perubahan kehidupan politik di tanah air. Dalam salah
satu makalahnya, dia mengatakan:
“Di tengah kehidupan yang serba berubah dan
mengalir (“panta rei”) dipertanyakan apakah masih berguna manusia
berbicara mengenai sejumlah hal—termasuk pendidikan—secara normatif?” Sebaliknya,
kita tahu bahwa pendidikan itu sendiri, tempat banyak orang dapat berbicara
banyak mengenai berbagai hal, tampaknya juga masih berbelit dalam memberikan
porsi lebih pada nilai normatif tersebut. Imbasnya adalah degradasi moral yang
semakin meningkat ketika kehidupan berubah dan mengalir menjadi dunia baru yang
semakin global.
Kehidupan
yang selalu berubah dan mengalir ini jika tidak diayomi oleh pribadi-pribadi
yang bermoral, maka dapat diprediksikan akan berakibat pada kerusakan dan
keguncangan sosial para penerima perubahanan itu sendiri. Oleh karena
itu, dibutuhkanlah pendidikan yang mampu mencetak kader-kader yang memiliki akhlak
al-karimah dan moral akademik yang tinggi sebagai modal dalam menyongsong
perubahan dan tantangan zaman di masa depan.
Akan
tetapi, untuk menciptakan pendidikan yang benar-benar “mendidik” itu memang
tidaklah mudah. Ki Hajar Dewantara (1889—1959) yang memandang bahwa pendidikan
adalah daya upaya yang dilakukan untuk memajukan budi pekerti (karakter dan
kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani anak-anak yang selaras
dengan alam dan masyarakat, tampaknya juga masih bertolak belakang dengan
realitas kehidupan sekarang. Hal ini bisa kita lihat pada realitas
lembaga-lembaga pendidikan: persekolahan dan perguruan tinggi. Kesenjangan
antara doktrin normatif dan wilayah praksis terlihat tidak adanya hubungan yang
saling berpengaruh. Keduanya terpisah bagaikan minyak dan air yang tak bisa
disatukan.
Mulyasana (2012) juga menjelaskan
bahwa pendidikan nasional kita lebih menekankan pada sistem pengajaran yang
lebih dominan daripada proses pendidikan itu sendiri. Sistem yang seperti ini
seakan telah keluar dari dalam jati diri pendidikan itu sendiri, sehingga
pendidikan cenderung diidentikan dengan proses peningkatan kemampuan,
keterampilan, dan kecerdasan belaka. Hal inilah yang menjadi kesenjangan antara
nilai normatif yang diajarkan dengan realitas kehidupan sosial yang diamalkan.
Problematika
Sosial Peserta Didik
Permasalahan akibat terabaikannya
pendidikan akhlak para peserta didik bisa kita lihat dari beberapa segi. Pertama,
berdasarkan segi kepribadian. Sebenarnya, permasalahan kepribadian yang
sejatinya adalah “aset” paling berharga bangsa ini adalah masalah kejujuran.
Sudah menjadi keniscayaan bahwa semua elemen—termasuk lembaga pendidikan—pastinya
akan menghargai dan menjunjung tinggi kejujuran. Barangsiapa berkhianat,
niscaya akan ditolak dari lingkungannya. Oleh sebab itu, pendidikan harus
menjadi tokoh utama dalam menanamkan dan menyebarkan sifat yang mulia ini.
Namun,
realitas masih juga bertolak belakang dengan harapan. Kasus ujian nasional
sebagai penentu “sakral” keberhasilan seseorang dalam pembelajaran, sebenarnya
juga belum relevan dengan konteks di lapangan. Seperti yang kita tahu bahwa
ujian nasional seakan tidak pernah bersih dari berbagai macam kecurangan. Sering
kita dengar pemberitaan di televisi yang memperlihatkan bagaimana “aksi” para
siswa ketika ujian nasional berlangsung, seakan membuat kita sendiri
tersinggung dan malu. Mungkin ini adalah kebiasaan hasil pembelajaran yang
selalu mengabaikan sifat kejujuran mereka. Namun, apakah hal ini menunjukan
pribadi jujur seorang siswa yang dikatakan terdidik?! Secara normatif, apakah
ujian nasional yang hanya berisi soal-soal teoritis itu layak menjadi penentu
keberhasilan? Jika iya, maka pemerintah telah sia-sia mengeluarkan anggaran
beratus-ratus juta hanya untuk menyelenggarakan ujian nasional yang hanya
bernilai, tetapi tidak memiliki makna dan fungsi apa-apa.
Kedua,
dari segi pergaulan. Lingkungan pendidikan telah mengajarkan kepada kita
untuk bergaul sebagaimana mestinya: menurut aturan, nilai, dan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Namun, kenyataannya tetap saja ada beberapa yang
“kebablasan”. Sebagai contoh, akibat tidak terawasinya pergaulan di kalangan
remaja, yaitu kasus anak sekolah yang dikeluarkan karena hamil luar nikah. Mungkin
juga hal ini tidak akan terjadi apa bila mereka mendapat pendidikan nilai,
norma, dan moral yang lebih daripada hanya sekedar belajar. Mengapa hal ini
bisa terjadi? Di sisi lain, terdapat kenakalan-kenalan lain (baca: pergaulan
bebas) yang memang patut untuk kita “obati” dengan kesadaran akhlak
al-karimah.
Penyelewengan lain yang sering kali
meresahkan para guru dan orang tua biasanya adalah tindakan yang memang sudah
melampaui dari batas kewajaran. Inilah yang sering kita sebut dengan pergaulan
bebas: pacaran. Banyak orang yang menentang, tetapi tidak sedikit pula yang
memperbolehkan.
Belajar dari Pesantren
Pesantren merupakan salah satu warisan
sah bangsa Indonesia atas khazanah literatur keilmuan islam pada abad
pertengahan. Ajarannya yang berdasar pada Islam rahmatan li al ‘alamin mampu
mencetak kader-kader yang memang dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan
masyarakat dan segala perubahan zaman yang menyelimutinya. Inilah keunikan yang
patut untuk kita pahami dan jadikan solusi bersama atas permasalah akhlak dan
moral akademik yang telah mengakar kuat dalam sistem pendidikan kita.
Secara mendasar konsep
pendidikan pesantren dapat kita lihat dari tiga segi. Pertama, dari segi
sosiologis. Salah satu lembaga pendidikan yang yang pernah penulis alami adalah
pondok pesantren Nurul Hidayah Karangsari di kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Ketika
hidup di pesantren, kita akan belajar bagaimana hidup yang sebenarnya. Dalam satu
kamar ukuran tiga meter persegi tidaklah seperti kamar kos yang hanya dihuni
oleh satu orang saja, namun di sini bisa diisi lima orang lebih. Bahkan, kalau
kita lihat di pesantren yang memiliki 6000 santri atau lebih, dalam satu kamar
empat meter persegi bisa mencapai 15 orang santri atau lebih.
Akan
tetapi, inilah kelebihan hidup di pesantren. Kita akan belajar bagaimana hidup
bersama dengan orang lain yang berbeda daerah dan latar belakang. Mereka memang
membawa perbedaan yang sejatinya tidak bisa untuk disatukan. Namun, dengan rasa
sosial dan semangat ukhuwah, kita
tetap bisa hidup bersama dengan beriringan dan harmonis tanpa adanya
perselisihan. Secara tidak langsung, kemampuan untuk memahami dan menghargai
orang lain akan terbentuk dengan kedekatan dan interaksi sosial yang sering
dilakukan.
Kedua, dari segi paradigmatis.
Kerangka berpikir pesantren mengajarkan kepada kita mengenai prinsip untuk
belajar mengutamakan kepribadian akhlak, bukan kepintaran. Pada tahap awal, biasanya
santri dibekali dengan tuntunan pembelajaran yang terintegrasikan dalam kitab ta’limul
muta’allim karya syaikh Burhanudin Az-zarnuji. Dalam bab pertama beliau
menjelaskan bahwa setiap muslim tidak diutamakan mencari ilmu, melainkan ilmu “chal”.
Bisa dikatakan bahwa ilmu ini adalah cara berperilaku dan bertindak menempatkan
diri secara benar, dimana tempat yang wajib, sunnah, makruh, dan haram.
Orientasi
pertama yang diberikan pesantren kepada santri ketika mencari ilmu adalah
landasan filosofi yang benar. Maksudnya adalah hakikat dalam mencari ilmu merupakan
mencari kebenaran. Kebenaran itu tidak bisa didapat sepenuhnya apabila dirinya (hati)
belum benar: moral dan akhlak. Selain itu, untuk mendapatkan ilmu, seorang
santri tidak bisa dengan cara yang hanya memanjakan badan. Ia harus bersusah
payah dahulu—belajar keras—serta memperhatikan adab-adab dalam mencari ilmu,
mulai dari persiapan, perjalanan menuju tempat belajar, dan ketika ta’lim itu
berlangsung.
Orientasi
kedua yang ditanamkan adalah tujuan dalam mencari ilmu. Ilmu apa? Tentunya
adalah ilmu yang akan selalu relevan dengan perkembangan zaman: dunia dan
akhirat. Oleh karena itu, ilmu yang diperoleh tidak hanya sebagai pengetahuan,
tetapi juga ilmu untuk hidup. Orientasi bukan diarahkan untuk mendapatkan
pekerjaan dan gelar seperti kyai atau ustadz, melainkan hanya untuk memperoleh ilmu
dan ridha Allah swt.
Tujuan
yang selanjutnya adalah mengharap keberkahan. Keberkahan disini maksudnya
adalah kebaikan yang diperoleh dari seseorang karena ilmunya, akhlaknya,
sifatnya, ibadahnya, dan bisa dikatakan sebagai teladan. Bahkan, ketika di
pesantren, penulis pernah mendengar suatu kisah tentang seorang santri yang
“bodoh”—tidak bisa membaca dan menghapal dengan baik setiap pelajaran yang baru
saja diajarkan oleh gurunya, sehingga ia pun dipandang “remeh” oleh orang-orang
sekitarnya. Akan tetapi, ia memiliki himmah atau prinsip untuk selalu
mengharap keberkahan dari guru atau kyai-nya. Setiap kali gurunya masuk
majelis, dia membalikkan sandal gurunya dengan maksud ketika gurunya keluar
dapat dengan mudah langsung dipakai, tidak perlu membalikan badan. Begitulah ia
lakukan terus menerus hingga waktu telah menjadi dewasa, tidak ada orang yang
menduga bahwa ia telah menjadi seorang ulama’ besar. Walaupun banyak kisah yang
hanya berwujud seperti “foklore“, tetapi hal ini menjadikan teladan bagi
para santri yang hidup di pesantren.
Ketiga,
dari segi metode pembelajaran. Terdapat keunikan lain dalam metode pengajaran
yang dilaksanakan di pesantren. Banyak orang yang menganggap metode ini adalah
cara pengajaran tradisional, namun jika ditelusuri lebih dalam, maka akan kita
temukan bahwa esensi dari metode ini sebenarnya adalah implikasi dari apa yang
diajarkan dalam lembaga pendidikan modern.
Ada
beberapa cara pengajaran yang dilakukan dalam pengajaran di pesantren: bandongan,
halaqah, hapalan, mudzakarah, muhawarah, dan sorogan. Salah satu metode
khas pesantren—yang menurut banyak orang adalah cara tradisional—sebagai cara
dalam proses pembelajaran adalah sorogan. Namun, jika dilihat dalam
konteks pedagogis, cara ini adalah metode yang modern. Hal ini dikarenakan
antara kyai dan santri akan saling mengenal secara erat, sehingga secara tidak
langsung metode ini akan membentuk karakter bersosial para santri.
Dalam metode sorogan,
murid atau santri harus membuat persiapan sebelum menghadap kepada guru. Begitu
juga dengan guru harus menguasai benar materi yang diajarkan. Pemebelajaran
dilakukan dengan tatap muka langsung—santri menyodorkan kita yang akan dikaji.
Sedangkan guru berpihak sebagai penerjemah kitab dan menjelaskannya kepada
santri. Dengan demikian, guru akan mengetahui materi yang cocok dan metode yang
harus diajarkan khusus kepada muridnya tersebut. Biasanya, kitab yang
disodorkan adalah kitab dalam bahasa arab tanpa syakal atau yang lebih kita
kenal dengan “kitab gundul”.
Pendidikan
yang Bermoral
Pendidikan di Indonesia belumlah
sepenuhnya terlambat dalam membenahi segala kekurangannya. Dengan memberikan
pendidikan moral seperti halnya konsep pesantren, diharapkan bisa memunculkan bibit-bibit
anak bangsa yang lebih berkualitas dan memiliki moral akademik yang tinggi. Hal
ini masih bisa dilakukan dengan cara mempertegas kembali bagaimana konsep dan
metode dalam pendidikan karater yang sudah dicanangkan beberapa tahun lalu.
Indonesia baru setelah
reformasi telah membuktikan kepada kita bahwa bangsa ini masih menyisakan
segudang masalah penting khususnya tentang moral akademik yang menghambat
terjadinya kemajuan. Fakta tersebut membuktikan kepada kita bahwa masa depan
Indonesia harus kita songsong dengan pribadi yang bermoral. Karena tanpa akhlak
dan moral yang baik, Indonesia yang kita sebut “baru” itu akan tetap menjadi
Indonesia lama seperti yang sekarang ini.
Berdasarkan pada pemaparan tersebut,
dapat disimpulkan dengan pernyataan yang cukup terkenal di kalangan umat ini: “Moralitas
berada di atas ilmu”. Pernyataan ini juga membuktikan dengan jelas kepada
kita bahwa pendidikan nasional di Indonesia tidaklah selamanya harus memberikan
porsi lebih pada pengajaran yang hanya mengutamakan keterampilan dan kecerdasan
belaka. Namun, pendidikan juga harus mengutamakan pendidikan akhlak dan moral
sebagai modal yang utama untuk meyongsong Indonesia baru di masa mendatang.
~Mohon maaf, masih belajar menulis
BAHAN BACAAN
Surakhmad,
Winarmo.2009.Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi. Kompas: Jakarta.
Mulyasana,
Dedi.2012.Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing. Rosdakarya: Bandung.
Zarnuji,
Burhanudi.ta’limul muta’allim. Maktabah ‘alamiyah: Semarang
Musthofa,
Haroen dan Asmuki, dkk.2009.Khazanah Intelektual Pesantren. Maloho Jaya
Press: Jakarta.
Harahap,
Syahrin.2005.Penegakan Moral Akademik di Dalam dan Luar Kampus. Rajawali
Pers: Jakarta.
MT
ReplyDeletesedih sekali melihat anak2 jaman sekarang.
nice artikel untuk mendidik anak. thanks a lot
Training Auditor