Monday 5 May 2014

KONTROVERSI PEMILU 2014

MAKALAH
KONTROVERSI PEMILU 2014
MELANGGAR KONSTITUSI


A.      Latar belakang

       Sampai sekarang ini masalah-masalah dalam pemilu terasa tidak kunjung-kunjung usai. Jika kita lihat, pemilihan umum telah diadakan sebanyak 11 kali yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014. Memang, pada saat pertama kalinya, pemerintah belum telalu siap untuk mengadakan pemilu sebagai konsekuensi dari negara demokrasi, sehingga tidak sedikit terdapat pelanggaran hingga sekarang ini. Namun, terlepas dari semua itu, pemerintah dan para kaum intelektual, pakar politik dan hukum, terus berupaya memperbaiki sistem demokrasi yang belum sempurna ini.
       Dalam sejarah perjalanannya legalitas hukum memang tidak selalu dipertanyakan. Rakyat hanya terfokus pada hasil dan sumbangan kerja nyata pemerintah untuk kesejahteraan rakyat dan negara. Seperti halnya sekarang, boleh saja orang-orang menjelek-jelakan, mencemooh pemerintahan SBY, tetapi jarang sekali yang menayakan legalitas kepresidenannya.
       Namun demikian, kali ini legalitas pemilu yang 2014 telah banyak yang mempetanyakannya terkait dengan tafsiran dalam Undang-Undang Dasar 1945 tentang pemilihan umum legislatif dan eksekutif. Hal inilah yang membuat keraguan terhadap legalitas pemilu tahun ini. Menurut konstitusi yang sebenarnya, pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan sebelum dilaksanakannya pemilu legislatif. Akan tetapi, tahun ini pemilu dilaksanakan secara terpisah. Pemilihan umum eksekutif (Presiden danWakil Presiden) dilaksanan setelah pemilu legislative 9 April lalu.

B.  Rumusan Masalah

1.    Mengapa pemilu 2014 kali ini diragukan legitimasinya?
2.    Apakah pemilu 2014 masih sejalan dengan konstitusi dan sah untuk dilaksanakan?
3.    Mengapa Mahkamah Konstitusi menetapkan pemilu serentak pada tahun 2019? Sedangkan pemilu 2014 kali ini masih bedasarkan pada Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi?
C.  Tujuan

1.    Mengetahui penyebab diragukannya legitimasi pemilu 2014.
2.    Mengetahui apakah pemilu 2014 masih sejalan dengan konstitusi dan sah untuk dilaksanakan.
3.    Mengetahui penyebab Mahkamah Konstitusi menetapkan pemilu serentak pada tahun 2019, sedangkan pemilu 2014 kali ini masih bedasarkan pada Undang-Undang yang bertentangan dengan konstitusi.

PEMBAHASAN 
A.           KASUS
Mahkamah Konstitusi: Pemilu Serentak Mulai 2019
 — Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-undang tentang pemilihan presiden dan wakil presiden yang diajukan aliansi masyarakat sipil untuk pemilu seretak. Uji materi tersebut di antaranya diajukan oleh Dosen Universitas Indonesia Effendi Gazali.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilihan umum legislatif  dilakukan serentak pada tahun 2019. Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan jika pemilu serentak dilaksanakan pada tahun 2014, maka tahapan Pemilu yang saat ini sedang berlangsung menjadi terganggu dan terhambat karena kehilangan dasar hukum.
Selain itu, Mahkamah mempertimbangkan, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif jika pemilu serentak digelar pada Pemilu 2014.
Hamdan Zoelva mengatakan, "Amar putusan mengadili, menyatakan 1. Mengabulkan permohonan pemohon pasal 3 ayat 5,pasal 12 ayat 1 dn 2, pasal 14 ayat 2 dan pasal 112 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden bertentangan dengan UUD negara Republik Indonesia tahun 1945. Kedua, amar putusan dalam angka satu di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum selanjutnya."
Namun, pengamat politik dari Akar Rumput Strategic Consulting, Dimas Oky Nugroho menilai aneh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Mahkamah Konstitusi lanjutnya telah menyatakan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan calon legislatif yang tidak serempak melanggar konstitusi tetapi tetap dilaksanakan pada pemilu 2014 mendatang.
"MK menyatakan bahwa itu tidak konstitusional, pisah seperti itu, tetapi pelaksanaannya diundur 5 tahun lagi. Pertanyaan publik adalah jika demikian secara substansinya, bahwa sesungguhnya yang paling terbaik adalah pemilu dilaksanakan secara serentak - baik pemilihan presiden dan legislatif - maka logika itu yang diterima masyarakat. Jadi itu akan menimbulkan krisis legitimasi juga bagi pemerintahan siapapun yang akan tampil di pemilu 2014 nanti yang menjadi pemenang," ujar Dimas Oky mempertanyakan.
Penggagas uji materi, Effendi Gazali mengatakan keputusan MK seharusnya datang lebih cepat sehingga bisa diterapkan pada pemilu 2014. Ini dikarenakan putusan sudah dibuat pada Mei tahun lalu tetapi hakim baru membacakan putusan itu pada hari Kamis (23/1) ini. Effendi mengatakan pemilu yang berlangsung dua kali telah menyalahi konstitusi dan memboroskan uang rakyat hingga Rp120 triliun.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso, menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan pemilu serentak antara eksekutif dan legislatif diberlakukan pada Pemilu 2019 mendatang. Priyo mengaku sempat khawatir jika pemilu serentak itu dilaksanakan pada pemilu 2014 karena bisa saja pihak tertentu menyalahgunakan jabatan dan kekuasaannya. Untuk itu dia menilai langkah dan putusan yang diambil oleh MK sudah bijaksana dan tepat.

B.  TEORI
            Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (Constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belanda-nya groundwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang dan ground berarti tanah/dasar. (Wirjono Projodikoro, 1989:10; dalam Hassan Suryono , 2005a:101)
Pengerian konstitusi dalam praktek dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar. Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa pengertian antara konstitusi dan Undang-Undang Dasar itu sama. Bagi sarjana ilmu politik istilah konstitusi merupakan istilah yang lebih luas yaitu keseluruhan dari peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur cara-cara bagaimana suatu pemerintahan dalam suatu masyarakat.
            Konstitusi dan Undang-Undang Dasar itu tidak sama. Undang-Undang Dasar merupakan suatu bentuk konstitusi yang tertulis. Dan dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Dasar itu salah satu bentuk konstitusi.
            Prof Herman Heller membagi pengertian konstitusi ke dalam tiga pengertian, yaitu:
a)        Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan dan ia belum merupakan konstitusi dalam arti hukum atau konstitusi masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum pengertian hukum.
b)        Baru setelah orang-oreng mencari unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan dalam satu kesatuan kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut Rechverfussing.
c)        Orang mulai menulisnya dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Sehingga bila kita menghubungkan pengertian konstitusi dengan UUD, maka UUD merupakan sebagian dari pengertian konstitusi dalam pengertian yang umum. (Muh. Ridwan Indra, 1987:20-21, dalam Hassan Suryono, 2005a:103)

C.      ANALISIS

      Berdasarkan pada pengertiannya yang lebih luas, konstitusi diartikan lebih daripada Undang-Undang Dasar. Pengertiannya bukanlah satu makna tunggal, melainkan suatu pengertian yang lebih luas dan diwujudkan dalam beberapa bentuk peraturan negara. Hal ini kami pahami sebagai keseluruhan peraturan yang mengatur jalannya suatu negara termasuk di dalamnya Undang-Undang Dasar beserta pasal-pasalnya.
      Dalam pelaksanaannya, konstitusi menimbulkan banyak interpretasi dari masyarakat terkait dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden tahun ini. Banyak tokoh yang mengajukan pengujian UU Pilpres kepada Mahkamah Konstitusi, di antaranya Dosen Universitas Indonesia Effendi Gazali dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc.
Kami manganalisis kronologisnya. Awalnya dimulai oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc selaku pemohon pengujian norma Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No 176, TLN 4924) terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengajuan ini sudah diajukan tahun lalu, tepatnya pada hari Jum’at (13/12/2013). Namun, pengajuan ini baru diputuskan pada hari Kamis (23/01/2014). (surat pengajuan Yusril Ihza Mahendra: Kompasiana).
      Sebagai contoh, inilah beberapa pasal UU Pilpres yang bertentangan dengan UUD 1945. Yusril menafsirkan bahwa pasal-pasal dalam UUD 1945 tentang pemilu presiden dan wakil presiden bahwa pemilu harus dilaksanakan secara serentak. Sebagaimana dalam sistem pemerintahan yang beralaku saat ini yaitu sistem presidensial.

Dalam surat pengajuannya, disebutkan sebagai berikut:
1.        UUD 1945 pasal 6A menyebutkan bahwa“ Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
2.        Pernyataan “sebelum pemilihan umum” ditafsirkan dengan merujuk ke pasal 22E.
3.        Pasal 22E tentang pemilihan umum menyebutkan bahwa “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Terkait dengan hal ini Yusril menyimpulkan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Dengan demikian, jelaslah bahwa pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden itu harus dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan umum DPR dan DPRD yang diikuti oleh partai politik sebagai pesertanya.
Menurut analisis kami, hal ini memanglah benar melanggar konstitusi karena konstitusi yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Dasar 1945. Pemilu 2014 ini didasarkan pada Undang-Undang 48 tahun 2008 tentang pemilihan umum  yang menyebutkan bahwa pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pemilihan umum DPR, DPRD, dan DPD. Dalam hal ini terdapat ketidaksesuaian dengan tafsiran UUD 1945 (pasal 6A dan 22E). Sehingga jelas bahwa pemilu 2014 melanggar konstitusi karena UUD 1945 berkedudukan sebagai dasar hukum tertinggi dibandingkan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain.
Menurut Yusril, dalam tulisannya, keputusan MK membelakukan pemilu serentak pada tahun 2019 mendatang menjadi keganjalan tersendiri baginya. Ia juga tidak menerima pertimbangan MK bahwa KPK belum siap untuk melaksanakan pemilu serentak 2014 nanti, karena hanya akan menimbulkan kekacauan dan penyelewengan kesempatan kekuasaan. Menurutnya, dalam putusan ini ia menganggap bahwa keuasaan MK dipengaruhi oleh unsur kepentingan politik atau segolongan.
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemilu yang sudah dilaksanakan yakni pemilu 2009 dan pemilu yang akan dilaksanakan tahun 2014 dinyatakan sah secara hukum. Artinya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pemilu 2014 sah tetapi tidak sesuai dengan konstitusi.
Konstitusi mengandung arti penting bagi suatu negara. Hal ini karena konstitusi menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah perjuangan para pendahulu sekaligus ide-ide dasar yang digariskan oleh The Funding Fathers, serta memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan negara yang mereka pimpin. Menurut kami, seharusnya aturan-aturan yang ada di undang-undang tidak bertentangan dengan dasar hukum tertinggi (Undang-Undang Dasar 1945) supaya tidak terjadi lagi kontroversi yang rumit.
PENUTUP 
Kesimpulan

      Pemilu 2014 yang dilaksanakan secara terpisah dinyatakan melanggar konstitusi, yaitu Undang-Undang dasar 1945. Pemilu tahun ini didasarkan pada Undang-Undang 48 tahun 2008 yang di dalamnya terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sistem pemerintah presidensial. Dan konstitusi yang berlaku di Indonesia saat ini adalah UUD 1945 yang berkedudukan sebagai dasar hukum tertinggi dibandingkan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain. Walaupun tidak sesuai dengan konstitusi, pemilu 2014 dinyatakan sah oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam pembahasan ini, dapat diambil berapa kesimpulan sementara, yaitu:
1.   Pemilu 2014 diragukan legitimmasinya karena dasar penyelenggarannya pada Undang-Undang Nomor 48 tahun 2008 bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang 1945.

2.      Pemilu 2014 dianggap sah oleh MK karena keputusannya itu dianggapnya sebagai salah satu bentuk konstitusi, dengan dalih baru diberlakukan pada tahun 2019 mendatang.

3.   Penyebab keputusan MK memberlakukan pemilu serentak pada tahun 2019 adalah dengan mempertimbangkan bahwa KPK belum siap untuk melaksanakan pemilu serentak 2014 nanti, karena hal itu hanya akan menimbulkan kekacauan dan penyelewengan kesempatan kekuasaan. Menurut Yusril, dalam tulisan surat pengajuannya, ia menganggap bahwa keuasaan MK ini dipengaruhi oleh unsur kepentingan politik atau segolongan.

DAFTAR PUSTAKA

1.      TIM MKU, 2007. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Surakarta: UNS Press.






No comments:

Post a Comment