MAKALAH
KONTROVERSI PEMILU 2014
MELANGGAR KONSTITUSI
A.
Latar belakang
Sampai
sekarang ini masalah-masalah dalam pemilu terasa tidak kunjung-kunjung usai. Jika kita lihat, pemilihan umum telah diadakan sebanyak 11 kali yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014. Memang, pada saat pertama kalinya, pemerintah belum telalu siap untuk mengadakan pemilu sebagai konsekuensi dari negara demokrasi, sehingga tidak sedikit terdapat pelanggaran hingga sekarang ini. Namun, terlepas dari semua itu,
pemerintah dan para kaum intelektual, pakar politik dan hukum, terus berupaya
memperbaiki sistem demokrasi yang belum sempurna ini.
Dalam sejarah perjalanannya legalitas hukum memang tidak
selalu dipertanyakan. Rakyat hanya terfokus pada hasil dan sumbangan kerja
nyata pemerintah untuk kesejahteraan rakyat dan negara. Seperti halnya
sekarang, boleh saja orang-orang menjelek-jelakan, mencemooh pemerintahan SBY,
tetapi jarang sekali yang menayakan legalitas kepresidenannya.
Namun demikian, kali ini legalitas pemilu yang 2014 telah
banyak yang mempetanyakannya terkait dengan tafsiran dalam Undang-Undang Dasar
1945 tentang pemilihan umum legislatif dan eksekutif. Hal inilah yang membuat
keraguan terhadap legalitas pemilu tahun ini. Menurut konstitusi yang
sebenarnya, pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan sebelum
dilaksanakannya pemilu legislatif. Akan tetapi, tahun ini pemilu dilaksanakan
secara terpisah. Pemilihan umum eksekutif (Presiden danWakil Presiden)
dilaksanan setelah pemilu legislative 9 April lalu.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa pemilu 2014 kali ini diragukan legitimasinya?
2. Apakah pemilu 2014 masih sejalan dengan konstitusi dan sah untuk dilaksanakan?
3. Mengapa Mahkamah Konstitusi menetapkan pemilu serentak pada tahun 2019? Sedangkan pemilu 2014 kali ini masih bedasarkan pada Undang-Undang yang
bertentangan dengan konstitusi?
C. Tujuan
1. Mengetahui penyebab diragukannya legitimasi pemilu 2014.
2. Mengetahui apakah pemilu 2014 masih sejalan dengan konstitusi dan sah untuk dilaksanakan.
3. Mengetahui penyebab Mahkamah Konstitusi menetapkan pemilu serentak pada tahun 2019, sedangkan pemilu 2014 kali ini masih bedasarkan pada Undang-Undang yang
bertentangan dengan konstitusi.
PEMBAHASAN
A.
KASUS
Mahkamah
Konstitusi: Pemilu Serentak Mulai 2019
JAKARTA — Mahkamah
Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-undang
tentang pemilihan presiden dan wakil presiden yang diajukan aliansi masyarakat
sipil untuk pemilu seretak. Uji materi
tersebut di antaranya diajukan oleh Dosen Universitas Indonesia Effendi
Gazali.
Dalam putusannya,
Mahkamah Konstitusi menyatakan pemilu presiden dan wakil presiden serta
pemilihan umum legislatif dilakukan serentak pada tahun 2019. Ketua
Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan jika pemilu serentak dilaksanakan
pada tahun 2014, maka tahapan Pemilu yang saat ini sedang berlangsung menjadi
terganggu dan terhambat karena kehilangan dasar hukum.
Selain itu,
Mahkamah mempertimbangkan, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau
tidak cukup memadai untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan
komprehensif jika pemilu serentak digelar pada Pemilu 2014.
Hamdan Zoelva
mengatakan, "Amar putusan mengadili, menyatakan 1. Mengabulkan permohonan
pemohon pasal 3 ayat 5,pasal 12 ayat 1 dn 2, pasal 14 ayat 2 dan pasal 112
tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden bertentangan dengan UUD
negara Republik Indonesia tahun 1945. Kedua, amar putusan dalam angka satu di
atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum
selanjutnya."
Namun,
pengamat politik dari Akar
Rumput Strategic Consulting, Dimas Oky Nugroho menilai aneh putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut. Mahkamah Konstitusi lanjutnya telah menyatakan
bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan calon legislatif
yang tidak serempak melanggar konstitusi tetapi tetap dilaksanakan pada pemilu
2014 mendatang.
"MK
menyatakan bahwa itu tidak konstitusional, pisah seperti itu, tetapi
pelaksanaannya diundur 5 tahun lagi. Pertanyaan publik adalah jika demikian
secara substansinya, bahwa sesungguhnya yang paling terbaik adalah pemilu
dilaksanakan secara serentak - baik pemilihan presiden dan legislatif - maka
logika itu yang diterima masyarakat. Jadi itu akan menimbulkan krisis
legitimasi juga bagi pemerintahan siapapun yang akan tampil di pemilu 2014
nanti yang menjadi pemenang," ujar Dimas Oky mempertanyakan.
Penggagas uji
materi, Effendi Gazali mengatakan keputusan MK seharusnya datang lebih cepat
sehingga bisa diterapkan pada pemilu 2014. Ini dikarenakan putusan
sudah dibuat pada Mei tahun lalu tetapi hakim baru membacakan putusan itu pada
hari Kamis (23/1) ini. Effendi mengatakan pemilu yang berlangsung dua kali
telah menyalahi konstitusi dan memboroskan uang rakyat hingga Rp120 triliun.
Wakil Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Priyo Budi Santoso, menyambut baik putusan Mahkamah
Konstitusi yang memutuskan pemilu serentak antara eksekutif dan legislatif
diberlakukan pada Pemilu 2019 mendatang. Priyo mengaku sempat
khawatir jika pemilu serentak itu dilaksanakan pada pemilu 2014 karena bisa
saja pihak tertentu menyalahgunakan jabatan dan kekuasaannya. Untuk itu dia
menilai langkah dan putusan yang diambil oleh MK sudah bijaksana dan tepat.
B.
TEORI
Istilah
konstitusi berasal dari bahasa Perancis (Constituer) yang berarti membentuk.
Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara
atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sedangkan istilah Undang-Undang
Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belanda-nya groundwet.
Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang dan ground
berarti tanah/dasar. (Wirjono Projodikoro, 1989:10; dalam Hassan Suryono ,
2005a:101)
Pengerian konstitusi dalam praktek dapat berarti
lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar. Tetapi ada juga yang
menyatakan bahwa pengertian antara konstitusi dan Undang-Undang Dasar itu sama.
Bagi sarjana ilmu politik istilah konstitusi merupakan istilah yang lebih luas
yaitu keseluruhan dari peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis
yang mengatur cara-cara bagaimana suatu pemerintahan dalam suatu masyarakat.
Konstitusi
dan Undang-Undang Dasar itu tidak sama. Undang-Undang Dasar merupakan suatu
bentuk konstitusi yang tertulis. Dan dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Dasar
itu salah satu bentuk konstitusi.
Prof
Herman Heller membagi pengertian konstitusi ke dalam tiga pengertian, yaitu:
a)
Konstitusi mencerminkan
kehidupan politik di dalam suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan dan ia
belum merupakan konstitusi dalam arti hukum atau konstitusi masih merupakan pengertian
sosiologis atau politis dan belum pengertian hukum.
b)
Baru setelah orang-oreng
mencari unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk
dijadikan dalam satu kesatuan kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut Rechverfussing.
c)
Orang mulai menulisnya
dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam
suatu negara. Sehingga bila kita menghubungkan pengertian konstitusi dengan
UUD, maka UUD merupakan sebagian dari pengertian konstitusi dalam pengertian
yang umum. (Muh. Ridwan Indra, 1987:20-21, dalam Hassan Suryono, 2005a:103)
C.
ANALISIS
Berdasarkan
pada pengertiannya yang lebih luas, konstitusi diartikan lebih daripada
Undang-Undang Dasar. Pengertiannya bukanlah satu makna tunggal, melainkan suatu
pengertian yang lebih luas dan diwujudkan dalam beberapa bentuk peraturan
negara. Hal ini kami pahami sebagai keseluruhan peraturan yang mengatur
jalannya suatu negara termasuk di dalamnya Undang-Undang Dasar beserta
pasal-pasalnya.
Dalam
pelaksanaannya, konstitusi menimbulkan banyak interpretasi dari masyarakat
terkait dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden tahun
ini. Banyak tokoh yang mengajukan pengujian UU Pilpres kepada Mahkamah
Konstitusi, di antaranya Dosen
Universitas Indonesia Effendi Gazali dan Prof. Dr. Yusril Ihza
Mahendra, S.H., M.Sc.
Kami manganalisis kronologisnya. Awalnya
dimulai oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc selaku pemohon pengujian norma
Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (LN 2008 No
176, TLN 4924) terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 7C, Pasal
22E ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pengajuan ini sudah diajukan tahun lalu, tepatnya pada hari Jum’at (13/12/2013). Namun, pengajuan ini baru diputuskan pada hari Kamis (23/01/2014). (surat pengajuan Yusril Ihza Mahendra:
Kompasiana).
Sebagai contoh, inilah beberapa
pasal UU Pilpres yang bertentangan dengan UUD 1945. Yusril menafsirkan bahwa
pasal-pasal dalam UUD 1945 tentang pemilu presiden dan wakil presiden bahwa
pemilu harus dilaksanakan secara serentak. Sebagaimana dalam sistem pemerintahan
yang beralaku saat ini yaitu sistem presidensial.
Dalam surat
pengajuannya, disebutkan sebagai berikut:
1.
UUD 1945 pasal 6A
menyebutkan bahwa“ Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
2.
Pernyataan “sebelum
pemilihan umum” ditafsirkan dengan merujuk ke pasal 22E.
3.
Pasal 22E tentang
pemilihan umum menyebutkan bahwa “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Terkait dengan
hal ini Yusril menyimpulkan bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota
DPR dan DPRD adalah partai politik. Dengan demikian, jelaslah bahwa pengusulan
calon Presiden dan Wakil Presiden itu harus dilakukan sebelum pelaksanaan
pemilihan umum DPR dan DPRD yang diikuti oleh partai politik sebagai
pesertanya.
Menurut analisis kami, hal
ini memanglah benar melanggar konstitusi karena konstitusi yang berlaku di
Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Dasar 1945. Pemilu 2014 ini didasarkan
pada Undang-Undang 48 tahun 2008
tentang pemilihan umum yang menyebutkan bahwa pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden dilaksanakan setelah pemilihan umum DPR, DPRD, dan DPD. Dalam hal ini terdapat ketidaksesuaian dengan tafsiran UUD 1945 (pasal 6A dan 22E). Sehingga jelas bahwa
pemilu 2014 melanggar konstitusi karena UUD 1945 berkedudukan sebagai dasar
hukum tertinggi dibandingkan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan
lain.
Menurut Yusril, dalam
tulisannya, keputusan MK membelakukan pemilu serentak pada tahun 2019 mendatang
menjadi keganjalan tersendiri baginya. Ia juga tidak menerima pertimbangan MK
bahwa KPK belum siap untuk melaksanakan pemilu serentak 2014 nanti, karena
hanya akan menimbulkan kekacauan dan penyelewengan kesempatan kekuasaan.
Menurutnya, dalam putusan ini ia menganggap bahwa keuasaan MK dipengaruhi oleh
unsur kepentingan politik atau segolongan.
Di samping itu, Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa pemilu
yang sudah dilaksanakan yakni pemilu 2009 dan pemilu yang akan dilaksanakan
tahun 2014 dinyatakan sah secara hukum. Artinya, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa pemilu 2014 sah tetapi tidak
sesuai dengan konstitusi.
Konstitusi mengandung arti penting bagi suatu
negara. Hal ini karena konstitusi menjadi barometer kehidupan bernegara dan
berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah perjuangan para pendahulu sekaligus
ide-ide dasar yang digariskan oleh The Funding Fathers, serta memberikan
arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan negara yang mereka
pimpin. Menurut kami, seharusnya aturan-aturan yang ada di undang-undang tidak
bertentangan dengan dasar hukum tertinggi (Undang-Undang Dasar 1945) supaya
tidak terjadi lagi kontroversi yang rumit.
PENUTUP
Kesimpulan
Pemilu
2014 yang dilaksanakan secara terpisah dinyatakan melanggar konstitusi, yaitu
Undang-Undang dasar 1945. Pemilu tahun ini didasarkan pada Undang-Undang 48
tahun 2008 yang di dalamnya terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD
1945 dan sistem pemerintah presidensial. Dan konstitusi yang berlaku di
Indonesia saat ini adalah UUD 1945 yang berkedudukan sebagai dasar hukum
tertinggi dibandingkan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain.
Walaupun tidak sesuai dengan konstitusi, pemilu 2014 dinyatakan sah oleh
Mahkamah Konstitusi. Dalam
pembahasan ini, dapat diambil berapa kesimpulan sementara, yaitu:
1. Pemilu 2014 diragukan legitimmasinya karena dasar penyelenggarannya pada
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2008 bertentangan dengan pasal-pasal dalam
Undang-Undang 1945.
2.
Pemilu 2014 dianggap sah oleh MK karena keputusannya itu dianggapnya
sebagai salah satu bentuk konstitusi, dengan dalih baru diberlakukan pada tahun
2019 mendatang.
3. Penyebab keputusan MK
memberlakukan pemilu serentak pada tahun 2019 adalah dengan mempertimbangkan
bahwa KPK belum siap untuk melaksanakan pemilu serentak 2014 nanti, karena hal
itu hanya akan menimbulkan kekacauan dan penyelewengan kesempatan kekuasaan.
Menurut Yusril, dalam tulisan surat pengajuannya, ia menganggap bahwa keuasaan
MK ini dipengaruhi oleh unsur kepentingan politik atau segolongan.
DAFTAR PUSTAKA
1. TIM MKU, 2007. Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Surakarta: UNS Press.
No comments:
Post a Comment